Beranda | Artikel
Aqidah Yang Benar
Kamis, 7 November 2024

Aqidah Yang Benar adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Kitab Syarhus Sunnah karya Imam Al-Barbahari Rahimahullah. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Dr. Iqbal Gunawan, M.A Hafidzahullah pada Rabu, 4 Jumadil Awal 1446 H / 6 November 2024 M.

Kajian Islam Tentang Aqidah Yang Benar

Imam Al-Barbahari berkata bahwa “tidak ada qiyas dalam Sunnah.” Pada awal kajian kitab ini, kita telah menjelaskan bahwa istilah Syarhus Sunnah di sini merujuk pada aqidah. Banyak kitab-kitab yang diberi judul As-Sunnah atau Syarhus Sunnah, yang maksudnya adalah pembahasan mengenai aqidah, karena aqidah adalah pokok penting dalam agama Islam.

Maka maksud dari ucapan Imam Al-Barbahari bahwa “tidak ada qiyas dalam Sunnah” adalah bahwa dalam hal aqidah, tidak diperbolehkan menggunakan analogi atau qiyas. Hal ini berbeda dengan hukum fiqih, di mana qiyas dan ijma’ diperbolehkan. Adapun, dalam aqidah, kita hanya mengambil rujukan dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena kebanyakan perkara aqidah adalah perkara yang ghaib, tentang iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari akhir, takdir baik dan buruk. Semua ini harus kita ambil dari Al-Qur’an dan Sunnah.

Sumber aqidah hanya dua, yaitu Al-Qur’anul Karim dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Semua yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits Nabi adalah penyimpangan dan kesesatan.

…فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلَّا الضَّلَالُ…

“Tidak ada setelah kebenaran itu kecuali kesesatan.” (QS. Yunus[10]: 32)

Maka, dalam perkara aqidah, tidak ada qiyas.

Tidak Boleh Mengikuti Hawa Nafsu dalam Beragama

Kemudian beliau Rahimahullah berkata, “Tidak boleh mengikuti hawa nafsu dalam menjalankan agama ini.”

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعاً لِمَا جِئْتُ بِهِ

“Tidak beriman salah seorang di antara kalian sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” (Lihat: Hadits Arbain Ke 41 – Kesempurnaan Iman)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ ۚ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ ۚ …

“Jika mereka tidak menjawab seruanmu, maka ketahuilah bahwa mereka hanya mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan meninggalkan petunjuk dari Allah?” (QS. Al-Qashash [28]: 50)

Maka, kita wajib tunduk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena jika tidak mengikuti petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah, berarti kita mengikuti hawa nafsu. Oleh sebab itu, Ahlus Sunnah disebut sebagai “Ahlus Sunnah” karena mereka mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sebaliknya, selain mereka disebut sebagai “Ahlul Ahwa,” pengikut hawa nafsu, karena pilihannya hanya ada dua: mengikuti sunnah atau mengikuti selain sunnah.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ۚ…

“Dan inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah. Janganlah kamu mengikuti jalan-jalan lain, karena jalan-jalan itu akan menyesatkan kamu dari jalan-Nya.” (QS. Al-An’am [6]: 153)

Maka kewajiban kaum muslimin adalah mempelajari Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan memahami aqidah yang benar, yaitu aqidah yang dibawa oleh beliau dan diyakini oleh para sahabat, yang kemudian diajarkan kepada tabi’in, tabi’ut tabi’in, hingga imam yang empat dan ulama sesudah mereka. Aqidah tersebut tidak berubah dan tidak ada perselisihan dalam pokok-pokoknya. Kita wajib sepakat dalam aqidah ini, karena mengikuti aqidah yang benar adalah mengikuti jalan yang lurus, sementara menyimpang darinya berarti mengikuti jalan yang menyimpang.

Cara Beraqidah Yang Benar

Cara beraqidah yang benar yaitu dengan membenarkan semua hadits-hadits dan atsar-atsar yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tentang sifat-sifat Allah, nama-nama Allah, perbuatan Allah, dan hak-hak Allah ‘Azza wa Jalla. Semua ini harus kita benarkan dan yakini, serta kita patuhi sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tanpa menanyakan bagaimana.

Hal ini berarti kita tidak boleh mempertanyakan seperti “Bagaimana tangan Allah?” atau “Bagaimana cara Allah turun?” Kita cukup mengimani bahwa Allah memiliki mata, wajah, tangan, kaki, dan bahwa Allah turun, Allah datang pada hari kiamat, tanpa mempertanyakan bagaimana terjadinya perbuatan-perbuatan tersebut, karena tidak ada yang mengetahui Dzat Allah ‘Azza wa Jalla. Sedangkan sifat Allah adalah cabang dari Dzat. Jika kita tidak mengetahui Dzat Allah, maka kita juga tidak mengetahui sifat-sifat-Nya.

Tapi kita wajib beriman sebagaimana dipahami Imam Malik bin Anas Rahimahullah yang mengatakan:

الاستواء معلوم، والكيف مجهول، والإيمانُ به واجِب

“Istiwa itu kita mengetahui artinya, tetapi bagaimana caranya (kaifiyat) itu tidak diketahui. Dan beriman kepada sifat istiwa’ adalah wajib.”

Demikian pula untuk sifat-sifat Allah lainnya, seperti tangan Allah. Kita memahami makna “tangan” dalam bahasa Arab, namun bagaimana hakikat tangan Allah, itu tidak kita ketahui, karena tidak ada yang sama dengan Allah.

Allah berfirman:

… لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar, Maha Melihat” (QS. Asy-Syura [42]: 11).

Bahkan, antara sesama makhluk saja sudah ada perbedaan yang sangat jauh, apalagi antara Al-Khalik (Pencipta) dan makhluk yang diciptakan-Nya.

Maksud dari perkataan penulis “bila syarah” adalah tanpa memberikan penjelasan yang bertentangan dengan makna yang benar, seperti yang banyak tersebar di kalangan ahli kalam dari golongan Jahmiyah, Mu’tazilah, dan kelompok yang mengikuti pemahaman mereka. Golongan-golongan ini menafsirkan ayat-ayat tertentu dengan makna yang batil, misalnya menafsirkan “yad (tangan)” sebagai “qudrah (kemampuan),” “wajah” sebagai “dzat,” dan “istiwa” sebagai “menguasai.” Ini semua adalah penjelasan yang batil.

Sebaliknya, ketika kita menjelaskan makna istilah tersebut dalam bahasa Arab yang sesuai dengan makna yang sebenarnya, kita harus menerima bahwa “yad” memang berarti “tangan,” seperti dalam firman Allah kepada Iblis:

مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ

“Apa yang menghalangimu untuk bersujud kepada (Adam) yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku?” (QS. Shad [38]: 75)

Dalam ayat ini tidak mungkin memaknai “kedua tangan-Ku” sebagai “kedua kekuasaan-Ku,”. Kita katakan bahwa Allah mempunya tangan, tapi kita tidak mengetahui bagaimana bentuk tangan Allah ‘Azza wa Jalla, dan Allah tidak memerintahkan kita untuk mencari tahu bentuknya. Para sahabat juga tidak pernah bertanya tentang tangan Allah, dan demikian pula kita diperintahkan untuk beriman bahwa Allah memiliki tangan yang mulia, yang selalu terbuka untuk menerima taubat hamba-Nya, baik di siang maupun malam hari.

Banyak berdebat menimbulkan keraguan

Selanjutnya, Imam Al-Barbahari rahimahullah menjelaskan bahwa banyak berbicara, berdebat, dan berbantahan adalah perkara baru yang baru dalam agama, yang justru menimbulkan keraguan dalam hati seseorang. Meskipun seseorang mungkin sampai kepada kebenaran, jika ditempuh melalui cara-cara yang keliru, maka inipun dilarang.

Perselisihan, perdebatan, dan berbantah-bantahan dalam masalah aqidah, khususnya mengenai sifat-sifat Allah ‘Azza wa Jalla, adalah perkara baru yang muncul akibat mengikuti hawa nafsu. Maka, tidak boleh ada keraguan terhadap apa yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Saat membaca ayat الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ, maka kita beriman bahwa Allah ber-istiwa’ di atas ‘Arsy. Ketika membaca tentang “tangan Allah yang keduanya terbuka,” maka kita beriman bahwa Allah memiliki kedua tangan. Karena orang-orang yang banyak berdebat tanpa ilmu akan menimbulkan keraguan dalam hati mereka. Allah Ta’ala berfirman:

… فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ

“Barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan tersesat dan tidak akan sengsara.” (QS. Thaha [20]: 123).

Oleh karena itu, jika kita ingin mempelajari aqidah yang benar, kita harus mempelajarinya dari Al-Qur’an dan mengambil tafsirnya dari penafsiran para sahabat serta murid-murid mereka. Dengan demikian, kita tunduk sepenuhnya kepada apa yang disampaikan dalam Al-Qur’an dan diterangkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits-haditsnya.

Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian dan simak pembahasan yang penuh manfaat ini.

Download MP3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54680-aqidah-yang-benar/